KOTA 'TUHAN' YANG TERKENAL KEJAM!
film masakini, utamanya film dengan big budget, biasanya menjadikan sesuatu sebagai bintang utamanya yang menggerakkan cerita, bukan seseorang. Tak percaya ? Tengok saja film – film sekelas Twister dengan angin topan-nya, Hard Rain dengan banjir bandang-nya hingga yang terbaru The Day After Tomorrow. Banyak yang mencibir, film – film dengan kualitas seperti ini cenderung mengedepankan sesuatu, demi menjual efek khusus. Ya, efek khusus-lah yang dipertaruhkan disini. Jadinya kadang terdengar komentar sinis yang mengatakan film – film big budget itu menjual 99% efek dan hanya 1% cerita.
Tapi City of God bukan film dengan big budget, setidaknya untuk ukuran Hollywood. Ini produksi Brazil yang belakangan memang banyak menelurkan karya – karya spektakuler. Dan City of God menjadikan sebuah kota sebagai “pemeran utama”-nya. Kota itu adalah Cidade de Deus (dalam bahasa Inggris bermakna City of God), sebuah kompleks perumahan yang dibangun di tengah belantara kota Rio de Janeiro. Seiring dengan pertumbuhan kota sejak 1960-an, demikian pula cerita City of God bergulir. Melalui penuturan Buscape (Alexandre Rodrigues), kita diajak bertualang menyusuri perjalanan kelam kota ini sejak 4 dekade silam. Dengan alur yang dibuat maju mundur, City of God memulai kisah dengan menceritakan karakter – karakter yang “mewarnai” kota tersebut. Salah satunya, Lil Dice (Leandro Firmino da Hora), penjahat paling berpengaruh yang sedari kecil memang sudah digambarkan masa depannya kelak akan seperti apa. Lil Dice adalah salah satu karakter yang bisa jadi akan dipandang setaraf dengan Travis Bickle dari Taxi Driver, tokoh antagonis yang rasanya tak akan mendapat simpati sedikitpun dari penonton. Apa sih di bagian diri Lil Dice yang patut mendapat simpati. Ia seorang yang egois, selalu ingin berbuat sekehendak hatinya, menembak seseorang akibat persoalan kecil, dan serentetan sifat jahat yang dipunyainya. Apa boleh buat, Lili Dice hanya punya sahabat karib yang berkawan dengannya sejak kecil. Tapi apa yang terjadi ketika sahabatnya tertembak musuhnya sendiri ?
Salah satu daya tarik City of God ada pada alur yang dibuat maju-mundur. Bukan hal yang baru memang karena banyak sekali sineas yang entah dengan alasan apapun, pernah menggunakannya. Bahkan seorang Quentin Tarantino menggunakannya di Kill Bill Volume 1. Dan ketika hal ini sudah jadi jamak, maka tentu perlu “sesuatu” agar jadinya menyegarkan. Dan Fernando Meirelles yang dipercaya jadi sutradara menyelesaikan tugas dengan baik. City of God bukan sekedar ‘film yang menggunakan teknik penceritaan non-linear”. Penilaian ini terlalu dangkal untuk film sekualitas City of God. Film ini masih punya gerak kamera yang luar biasa mengagumkan, editing yang mulus dan cepat bak liukan irama Samba, departemen akting yang terjaga dan sekian plus lainnya. Jangan lupa, banyak sekali kejutan yang dialirkan Meirelles di sepanjang film. Mudah untuk merekognisinya asal Anda tak meleng sedikitpun dari layar. Inilah film dengan citarasa khas Brazil yang “mengalir deras” ibarat gocekan bola di kaki seorang Ronaldo.
Begitupun, ada saja yang bisa melihat ‘kelemahan” film ini. Seorang kritikus menganggap kisah City of God tak sepenuhnya orisinal karena cerita yang nyaris sama sudah pernah diangkat oleh Hector Babenco (sesama sineas Brazil) pada tahun 1981 lewat Pixote. Tapi ada juga yang memuji setinggi langit, bahkan berani menyandingkannya dengan Goodfellas yang fenomenal itu. Soal selera, rasanya terpulang pada individu masing – masing. Jika Anda tak suka cerita dan kekerasan eksplisit yang berhamburan didalamnya, maka nikmatilah pemandangan kota Tuhan ini yang sesekali dikelir bagaikan sebuah lukisan bernuansa artistik tinggi. Perpaduan keduanya menghasilkan pemandangan ironis : indah sekaligus menyayat hati !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar